Isu wanita dalam Islam, terutama di Barat, adalah satu topik yang sering disalahartikan dan banyak distorsi karena pengaruh stereotipe negatif tentang Islam. Persepsi negatif tentang “Dunia Timur” sebagaimana dikemukakan Edward Said dalam bukunya Orientalism, kadang-kadang menggiring feminist Barat untuk berasumsi jelek tentang wanita dalam Islam. Leila Ahmad (1982) menulis:”…hanya karena Amerika tahu bahwa Arab adalah terbelakang, mereka dengan serampangan berkesimpulan bahwa wanita dalam Islam juga terbelakang dan tertindas”. Karena itu, terkadang ada asumsi bahwa tertindasnya hak-hak wanita dalam Islam disebabkan oleh sumber utama ajaran Islam itu sendiri, Al-Qur’an.
Tulisan ini berusaha mengidentifikasi secara garis besar bagaimana Al-Qur’an mengatur kehidupan wanita dalam Islam; spiritual, ekonomi dan aspek sosial. Sebelum mendiskusikan lebih jauh tentang bagaimana al-Qur’an memposisikan wanita, terlebih dahulu kita harus melihat bagaimana posisi wanita sebelum datangnya Islam.
Kedudukan Wanita Sebelum datangnya Islam
Status wanita dalam Islam akan lebih mudah dan jelas dipahami kalau kita terlebih dahulu melihat bentangan sejarah peradaban manusia tentang bagaimana wanita diposisikan dalam masyarakat sebelum datangnya Islam. Apakah masyarakat pra-Islam memposisikan wanita sama, lebih baik atau bahkan lebih jelek? Menurut Jawad (1998) sejarah peradaban manusia mencatat bahwa kedudukan wanita, sebelum datangnya Islam, sangat mengkhawatirkan, mereka tidak dipandang sebagai manusia yang pantas dihargai. Bahkan wanita tidak lebih dipandang sebagai makhluk pembawa sial dan memalukan serta tidak mempunyai hak untuk diposisikan di tempat yang terhormat di masyarakat. Praktek yang inhuman ini tercatat berlangsung lama dalam sejarah peradaban masyarakat terdahulu.
Mendeskripsikan status wanita Yunani kuno, Badawi (1990) menulis: “….Athenian women were always minors, subject to some male…”. Dalam tradisi Hindu, sebagaimana tertulis dalam The Encyclopaedia Britannica, bahwa ciri seorang isteri yang baik adalah wanita yang pikiran, perkataan, dan seluruh tingkah lakunya selalu patuh pada suaminya bagaimanapun seorang suami bersikap kepadanya. Dalam tradisi dan hukum Romawi Kuno bahkan disebutkan bahwa wanita adalah makhluk yang selalu tergantung kepada laki-laki. Jika seorang wanita menikah, maka dia dan seluruh hartanya secara otomatis menjadi milik sang suami. Ini hampir sama dengan yang tertulis dalam English Common Law, …all real property which a wife held at the time of a marriage became a possession of her husband.
Dalam tradisi Arab, kondisi wanita menjelang datangnya Islam bahkan lebih memprihatinkan. Wanita di masa jahiliyah dipaksa untuk selalu taat kepada kepala suku atau suaminya. Mereka dipandang seperti binatang ternak yang bisa di kontrol, dijual atau bahkan diwariskan. Arab jahiliyah terkenal dengan tradisi mengubur bayi wanita hidup-hidup dengan alasan hanya akan merepotkan keluarga dan mudah ditangkap musuh yang pada akhirnya harus ditebus. Dalam dunia Arab jahiliyah juga dikenal tradisi tidak adanya batasan laki-laki mempunyai isteri. Kepala suku berlomba-lomba mempunyai isteri sebanyak-banyaknya untuk memudahkan membangun hubungan famili dengan suku lain. Ali Asghar Engineer (1992) bahkan mencatat kebiasaan kepala suku untuk mempunyai tujuh puluh sampai sembilan puluh isteri. Budaya barbar penguburan hidup-hidup bayi wanita dan tidak adanya batasan mempunyai isteri dilarang ketika Islam datang, dan ini bagi Engineer adalah salah satu prestasi luar biasa peningkatan status wanita dalam Islam.
Tradisi lain yang berkembang di masyarakat jahiliyyah sebelum Islam datang adalah adanya tiga bentuk pernikahan yang jelas-jelas mendiskreditkan wanita. Pertama adalah nikah al-dayzan, dalam tradisi ini jika suami seorang wanita meninggal, maka anak laki-laki tertuanya berhak untuk menikahi ibunya. Jika sang anak berkeinginan untuk menikahinya, maka sang anak cukup melemparkan sehelai kain kepada ibunya dan secara otomatis dia mewarisi ibunya sebagai isteri. Kedua, zawj al-balad, yaitu dua orang suami sepakat untuk saling menukar isteri tanpa perlu adanya mahar. Ketiga adalah zawaj al istibda. Dalam hal ini seorang suami bisa dengan paksa menyuruh isterinya untuk tidur dengan lelaki lain sampai hamil dan setelah hamil sang isteri dipaksa untuk kembali lagi kepada suami semula. Dengan tradisi ini diharapkan sepasang suami isteri memperoleh “bibit unggul” dari orang lain yang dipandang mempunyai kelebihan.
Dari pemaparan bentuk-bentuk tradisi masyarakat pra-Islam terhadap wanita diatas kita bisa berasumsi bahwa wanita sebelum Islam sangat dipandang rendah dan tidak dianggap sebagai manusia, mereka lebih dipandang sebagai barang seperti harta benda yang lainnya. Dengan asumsi ini kita dengan mudah akan melihat bagaimana Islam memposisikan wanita dan mencoba menghapus tradisi jahiliyah tersebut.
Wanita dalam Islam: Spiritual, Ekonomi dan Sosial
Ketika mendiskusikan segala topik yang berhubungan dengan Islam, adalah tidak bisa dihindarkan untuk selalu merujuk kepada sumber utama ajaran Islam, Al-Qur’an. Banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang kedudukan wanita dalam Islam, bahkan salah satu surat dari Al-Quran disebut surat an-Nisa (Wanita). Konsep yang paling familiar tentang kedudukan wanita dalam Islam yang sering disebut al-Qur’an adalah konsep women equality. Equality, responsibility dan accountability antara wanita dan laki-laki adalah tema dalam Al-Quran yang sering ditekankan. Term persamaan antara laki-laki dan wanita dimata Tuhan tidak hanya terbatas pada hal-hal spiritual atau isu-isu religius semata, lebih jauh Al-Qur’an berbicara tentang persamaan hak antara laki-laki dan wanita dalam segala aspek kehidupan.
Menurut Al-Qur’an, wanita dan laki-laki mempunyai spiritual human-nature yang sama. Al-Qur’an menyebutkan bahwa kedua jenis kelamin, laki-laki dan wanita, masing-masing berdiri sendiri dan independen. Al-Qur’an sama sekali tidak pernah menyebutkan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, bahkan isu tentang jenis kelamin mana yang lebih dahulu diciptakan, Al-Quran tidak memberikan spesifikasi yang jelas. Allah berfirman:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan zawj; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain [264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS 4:1).
Muhammad Asad (1980) dalam The Message of the Quran menulis bahwa kata Arab zawj (mate) dalam ayat diatas secara gramatik bahasa adalah netral dan bisa dipakai untuk menyebut laki-laki atau wanita. Karenanya, Al-Quran tidak menyebut dengan jelas apakah Adam diciptakan terlebih dahulu kemudian Hawa dan juga tidak menyebut kalau Hawa (wanita) adalah subordinasi dari Adam (laki-laki). Fakta bahwa al-Qur’an tidak secara spesifik menyebut jenis kelamin mana yang diciptakan lebih dahulu adalah bukti tidak adanya bias jender dalam penciptaan manusia dalam Islam. Lebih jauh Al-Qur’an menyebut bahwa fungsi utama penciptaan manusia (laki-laki dan wanita) adalah bahwa keduanya dipercaya sebagai khalifah di muka bumi.
Dalam hal kewajiban moral-spiritual beribadah kepada Sang pencipta, Al-Quran menekankan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita. Dalam lebih dari satu ayat, Al-Qur’an menyebut bahwa siapa pun yang berbuat baik, laki-laki atau wanita, Tuhan akan memberikan pahala yang setimpal (QS: 3:195 dan 16:97).
Untuk hak-hak yang bersifat ekonomis, Al-Qur’an mengenal adanya hak penuh bagi wanita sebelum dan sesudah menikah. Jika sebelum menikah seorang wanita memiliki kekayaan pribadi, maka begitupun setelah dia menikah. Dia mempunyai hak kontrol penuh terhadap kekayaannya. Berkenaan dengan hak ekonomis bagi wanita, Badawi (1995) menyebutkan bahwa di Eropa, sampai akhir abad 19, wanita tidak mempunyai hak penuh untuk memiliki kekayaan. Ketika seorang wanita menikah, secara otomatis harta seorang wanita menjadi milik sang suami atau kalau si isteri mau mempergunakan harta yang sebenarnya milik dia ketika belum menikah, harus mempunyai ijin dari sang suami. Badawi menunjuk kasus hukum positif Inggris sebagai contoh. Di Inggris, hukum positif tentang wanita mempunyai hak kepemilikan baru diundangkan pada sekitar tahun 1860-an yang terkenal dengan undang-undang “Married Women Property Act”. Padahal Islam telah mengundangkan hukum positif hak pemilikan wanita 1300 tahun lebih awal ( Lihat QS 4:7dan 4:32).
Mendiskusikan posisi wanita di bidang sosial, adalah penting untuk melihat bagaimana peranan wanita sebagai anak, isteri dan ibu dalam Islam. Ketika tradisi penguburan hidup-hidup bayi wanita menjamur dalam tradisi jahiliyah Arab, Islam dengan tegas melarangnya dan bahkan menganggap tradisi itu sebagai tradisi barbar yang tidak bermoral. Lebih jauh, sebagai ibu, wanita mempunyai posisi yang sangat terhormat dalam Islam. Al-Qur’an memerintahkan setiap anak yang beragama Islam untuk mempunyai respektifitas yang tinggi terhadap orang tua, terutama ibu (QS 31:14). Kegagalan untuk hormat pada orang tua termasuk pelanggaran yang berimplikasi dosa besar. Kedudukan wanita sebagai isteri pun sangat dihargai dalam Islam. Al-Qur’an dengan jelas menekankan bahwa pernikahan dalam Islam adalah love-sharing antara dua insan yang berbeda jenis dalam masyarakat dengan tujuan mempertahankan keturunan dan menciptakan spiritual-harmony (QS 30:21).
Pemaparan keadaan wanita dalam Islam diatas dengan jelas mengindikasikan bahwa posisi wanita diangkat martabatnya ketika Islam datang. Kedatangan Islam bahkan bertujuan untuk menghapus segala bentuk diskriminasi dan pelecehan harkat wanita. Fazlur Rahman (1982) menulis “… tak ada bukti sama sekali bahwa wanita dalam Islam dipandang sebagai lebih rendah dari laki-laki”.
Perlunya Reinterpretasi Al-Qur’an
Meskipun dengan jelas Al-Qur’an telah memposisikan wanita dalam martabat yang terhormat, ada beberapa ayat yang dipandang sebagai adanya superioritas laki-laki atas wanita. Allah berfirman:
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”(QS 2:228).
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” (QS 4:34).
Mengomentari dua ayat di atas yang terkadang menjadi sumber miskonsepsi tentang wanita dalam Islam, tokoh feminist Muslim seperti Fatima Mernissi (1992) dan Amina Wadud (1999) menyarankan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an di atas perlu reinterpretasi. Karena Al-Quran diturunkan dengan latar belakang sosio-historis Arab, maka kata Rahman (1982) kita harus sadar bahwa al-Quran adalah respon Ilahi terhadap kultur Arab, karenanya yang harus kita cari dari ayat-ayat Al-Qur’an adalah semangat ideal moral yang lebih luas yang bisa diterapkan disegala masa dan tempat. Berkenaan dengan posisi wanita, yang harus kita cari adalah semangat egaliter yang sering ditekankan Al-Qur’an. Dalam kata-kata Wadud (1999) untuk mengetahui secara komprehensif bagaimana Al-Qur’an berbicara tentang wanita, kaum Muslimin harus berani meinginterpretasi seluruh ayat Al-Quran yang berbicara tentang wanita dan menganalisanya dengan kritis dengan memperhatikan “its context, in the light of overriding Quranic principles and within the context of the Quranic weltanschauung”. Artinya Muslim dituntut untuk tidak hanya memahami ayat-ayat Al-Qur’an tentang wanita secara tekstual dan literal tapi juga harus memperhatikan konteks dimana dan kapan ayat Quran turun.
Akhirnya, kalau secara prinsip Al-Quran mempromosikan peningkatan status wanita dalam Islam dalam ayat-ayatnya dan wanita Muslim menikmati status itu di awal periode kedatangan Islam, mengapa stereotype dan image bahwa wanita dalam Islam adalah terbelakang, tertindas dan menjadi makhluk kelas dua muncul di abad Modern ini? Sulit menjawabnya memang, tapi nampaknya penting untuk dicatat bahwa disamping kita perlu mengkaji ulang dan reinterpretasi ayat-ayat Quran untuk menjawab tantangan modernitas, adalah bijak kalau kita memperhatikan pernyataan Ranna Kabbani (1989) dalam bukunya Letter to Christendom yang mencatat: “…in Islamic society, as in the West, the oppression of women is usually more the result of poverty and lack of education and other opportunities, than of religion”. Mungkin Kabbani benar bahwa kalaupun ada kecenderungan memposisikan wanita sebagai kaum kelas dua dalam masyarakat Islam, sebagaimana terjadi di Barat, bukan disebabkan oleh faktor agama tapi lebih karena faktor kemiskinan, kurang pendidikan dan kurangnya kesempatan yang diberikan kepada wanita untuk berkarya. Wallahu a’lam.
Mohon maaf ini tulisan saya. Tolong anda sebutkan sumbernya atau anda hapus dari blog anda kalau tidak mau saya permasalhkan. Penulis asli
BalasHapus